bagaimana psikologi lintas budaya dalam memandang GWL???

21 Comments

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL merupakan artian dari Gay, Waria, dan Lesbian yang dimana sekarang lagi banyak diperbincangkan baik di Luar Negeri ataupun di Indonesia sendiri. GWL ini juga biasanya sering kita dengar dengan sebutan LGBT. LGBT bahkan sudah banyak yang mendapatkan legalisasi hubungan mereka dibeberapa negera-negara Eropa dan beberapa Negara bagian di Amerika Serikat. Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London tahun 1970. Hak asasi manusia dan kesamarataan yang mendasari legalisasi hal ini di negara barat, dan hukum yang ada di negara barat juga yang berperan besar terhadap legalisasi LGBT ini.
Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Desorder), dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Perubahan paradigma psikologi dalam melihat ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi oleh APA dari DSM maka LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal.
Namun di Indonesia Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) merupakan penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat Indonesia. Globalisasi telah berkontribusi secara nyata dalam mengembangbiakkan budaya dan identitas kelompok homoseksual. Globalisasi melahirkan bentuk baru budaya lokal yang sejalan dengan budaya global (Barat). Penyebaran LGBT di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh serangan budaya Barat.
Indonesia sebagian besar masyarakatnya beragama, dan mayoritas beragama islam. Dalam agama apapun tidak ada yang melagalkan hubungan sesama jenis, dan jenis kelamin hanya ada laki-laki dan perempuan. Perlawanan terhadap LGBT harus disempurnakan dengan perjuangan untuk mewujudkan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah dan kembali kepada fitrahnya.

    nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

    Sngat tidak bangus, karena bisa merusak budaya – budaya indonesia, kita lihat pada jaman sekarang LGBT sudah ada memghalalkannya di amerika serikat. Perilaku LGBT ini sangat bertentangan dengan adat budaya dan dalam agam sangat mengharamkan LGBT. Penyebaran LGTB di pengaruhi oleh teknologi yang semakin maju sehingga bisa merusak budaya, kita lihat pada jaman sekarang tentang LGBT sangat mudah untuk di tonton orang sehingga bisa membuat mereka untuk meniru perilaku tersebut dan bisa merusak budaya yang di mana dalam budaya indonesia masih kental dan masyarkat masih banyak menjalankan budaya tersebut sampai saat dan masyarakat mempertahankan budaya tersebut dari moyang kita tanpa ada perubahan budaya itu.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL ini juga biasanya sering kita dengar dengan sebutan LGBT. Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) merupakan penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Sedangkan Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Sedikit berbeda dengan bisexual, biseksual (bisexual) adalah individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin baik pria ataupun wanita (kamuskesehatan.com).
Sejarah Awal Pergerakan LGBT Kriminalisasi pada perilaku seks homoseksual berlangsung terus menerus antara abad 18 dan 19 di Eropa karena homoseksualitas dikategorikan sebagai kejahatan dan perbuatan dosa dan mereka yang melakukannya tidak dimasukkan dalam golongan manusia. Walaupun kecil, pembelaan terhadap orang homoseks mulai bermunculan kala itu. Istilah Homoseksual sendiri diperkenalkan oleh Karl Maria Kertbeny pada awal abad ke 19 untuk menjelaskan perilaku seksual dari tiga kategori perilaku seksual lain yaitu, monoseksualitas, heteroseksualitas dan heterogen (khusus kepada binatang). Kemudian pada abad yang sama, tahun 1886, Richard Von Krafft-Ebing, seorang psikiatris dari Austria dalam bukunya Psycophatia Sexualis, the medical-forensic study of sexual abnormalities, menjelaskan tentang “Normal sexuality”, yang selanjutnya istilah ini banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku-perilaku seksual.
LGBT di Indonesia Budaya nusantara mengenal LGBTI dengan beragam sebutan lokal seperti wandu, banci, tomboi (Jawa), warok dan gemblakan (di Ponorogo), Bissu, calalai, calabai, panter, lines (Bugis, Makasar), dan lain-lain. Pada awalnya keberadaan mereka secara terbuka diterima oleh masyarakat dan tidak dimusuhi. Keadaan ini bergeser mengikuti sejarah Indonesia. Sejarah kolonial Hindia Belanda yang konservatif –viktorian – mempengaruhi bagaimana orang-orang LGBTI ini dilihat dan dikategorikan. Selain itu sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia pun turut serta mempengaruhi posisi orang-orang LGBTI di dalam masyarakat. Bila pada budaya-budaya tertentu memberikan ruang yang cukup prestisius kepada Bissu dan lainnya maka dengan perubahan waktu dan berkembangnya berbagai ideologi lain, maka posisi-posisi inipun turut bergeser.
Secara psikologis dan lintas budaya, kita perlu memahami bagaimana proses internalisasi homophobia terjadi pada orang-orang LGBT dan bagaimana hal ini juga bisa menimbulkan trauma yang bersifat kronis. Trauma ini bisa terjadi langsung dan atau vicarious traumatization (trauma karena terpapar cerita dan melihat orang lain yang trauma) kepada orang-orang LGBT yang biasa dikelilingi dengan pengalaman kekerasan, diskriminasi, stigma, dan bahkan pembunuhan. Ragam efek trauma ini bisa bermacam-macam, mulai dari meyakini “ilusi positif” dengan menghukum diri sendiri, seperti “aku LGBT – buruk, dosa (self stigma) sehingga pantas mendapat hukuman (membiarkan diri mengalami berbagai kekerasan) dan sulit untuk membela diri (melihat diri secara positif). Jadi memahami persoalan LGBT yang menstigma diri sendiri mesti dilihat bukan dari soal psikologis saja, tetapi konteks situasi dan kondisinya (budaya dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya) menjadi sangat penting untuk dianalisis juga. Bagaimanapun kondisi psikologis seseorang –siapapun mereka – sangat kontekstual. Apalagi Indonesia memiliki berbagai macam bentuk keragaman seperti kelas, agama, budaya, gender, pendidik, dll.
Pada akhirnya, perkembangan homoseksualitas di Indonesia tidak lepas dari gerakan homoseksual di berbagai level baik ditingkat global, regional, nasional dan lokal. Juga gerakan ini beririsan dengan isu lainnya seperti politik, hukum, budaya, sosial dan agama.
Di dunia pernikahan gay sah di 13 negara bagian Amerika Serikat: Connecticut, Iowa, Massachussets, Oregon, New Hampshire, New York, New Jersey, Vermont, Maryland, Hawaii, Maine, serta bersama dengan ibu kota Washington DC. Seperti yang kita tahu, sebelum Amerika membuat keputusan yang menggemparkan warga dunia, sebenarnya keputusan melegalkan pernikahan sejenis sudah ada sejak 2001 dengan negara Belanda yang menjadi negara pelopor pelegalan pernikahan sejenis. Sampai berita ini dibuat tercatat telah ada 22 negara dari 204 negara yang telah diakui secara de facto oleh PBB yang melegalkan pernikahan sesama jenis secara penuh di seluruh wilayah negaranya (Freedom to Marry Organization, 2014).

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Secara psikologis, kaum homoseksual tidak dianggap “sakit‘. Mereka normal, sama seperti kaum heteroseksual. Homoseksual sudah bukan lagi merupakan sebuah penyimpangan. Dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder/ buku acuan diagnostik secara statistikal dalam menentukan gangguan kejiwaan), tidak ditemukan lagi homoseksual sebagai gangguan kejiwaan dengan alasan bahwa kaum homoseksual tidak merasa terganggu dengan orientasi seksualnya, bahkan bisa merasa bahagia dengan orientasi seksualnya tersebut. DSM adalah buku panduan psikologi dalam menentukan normal tidaknya sebuah perilaku.
HOMOSEKSUALITAS DALAM MASYARAKAT INDONESIA Menurut Dede Oetomo (2001) dalam masyarakat-masyarakat Nusantara, perilaku homoseksual diatur dengan bermacam-macam cara, yang dapat diuraikan dengan tipologi pola sebagai berikut :
1. Hubungan Homoseksual Dikenal dan Diakui Dalam pola ini, hubungan homoseksual dikenal dan diakui oleh suatu masyarakat. Indikatornya adalah adanya istilah yang mengacu pada hubungan semacam itu. Jadi, umpamanya, di masyarakat Minangkabau tradisional dikenal hubungan antara laki-laki dewasa dan remaja, di mana si dewasa disebut indukjawi (harfiah berarti “induk lembu”) dan si remaja pasangannya dinamakan anak jawi. Informan-informan Minang yang jujur selalu mengakui adanya hubungan semacam itu. Ada yang mengaitkan hubungan ini dengan kehidupan serba laki-laki di surau atau dengan hubungan guru-murid dalam ilmu silat.
Di masyarakat Madura tradisional, dua anak atau remaja laki-laki yang bersahabat karib disebut dalaq. Dan informan penutur asli bahasa Madura didapatkan pula bahwa kata kerja adalaq berarti melakukan hubungan genitoanal. Kata dasar itu dapat pula dipasifkan menjadi kadalaq.Selain dari indikator istilah, adanya hubungan homoseksual juga diketahui dari laporan para sarjana Barat. Ahli Aceh dan Islam C. Snouck Hurgronje, misalnya, pada awal abad ke-20 melaporkan adanya hubungan homoseksual yang dilakukan oleh para uleebalang di Aceh, yang sangat menyukai budak-budak remaja putra dan Nias karena ketampanannya. Hurgronje juga menyebutkan lazimnya hubungan homoseksual antara laki-laki di Jawa, khususnya daerah Solo, Yogya dan di Minangkabau.
2. Hubungan Homoseksual Dilembagakan dalam Rangka Pencarian Kesaktian dan Pemertahanan Sakralitas Dalam pola ini, perilaku atau hubungan homoseksual diberikan sebagai altematif penyaluran dorongan seksual dalam rangka diharamkannya hubungan heteroseksual karena dianggap meninggalkan pencarian kesaktian (kanuragan: Jawa). Contoh yang paling khas dari pola pelembagaan ini adalah hubungan Warok, orang sakti dari daerah Ponorogo, Jawa Timur, dengan remaja sejenis pasangannya, gemblak, yang diperlakukannya sebagai pengganti pasangan lawan jenis untuk hubungan seksual. Dan dikenalnya istilah gemblak di daerah-daerah lain di Jawa Tirnur, seperti di Surabaya, dapat diduga bahwa gejala ini mungkin juga dikenal dalam konteks di luar pencarian kesaktian di daerah-daerah itu.
3. Orang Berperilaku Homoseksual Diberi Jabatan Sakral Dalam pola ini, orang yang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral, seperti perantara dengan dunia arwah (antara lain pada suku Dayak Ngaju, yang dikenal sebutan basir), shaman (antara lain pada suku Toraja Pamona, yang dikenal dengan sebutan tadu mburake), atau penjaga pusaka di istana kerajaan (antara lain pada suku Makasar, yang dikenal dengan sebutan bissu). Pelembagaan pada pola ini lazimnya disertai adopsi peran jenis kelamin yang lain. Dalam fungsi perantara atau shaman, menyatunya unsur kelamin laki-laki dan perempuan (dualisme) dipandang sebagai keutuhan yang mencerminkan keadaan dunia arwah atau akhirat. Dalam 23 literatur antropologi budaya, fenomena ini dikenal dengan istilah berdache, yang didasarkan pada studi-studi terhadap suku-suku Indian Amerika.
4. Perilaku Homoseksual Dijadikan Bagian Ritus Iniasi Pada beberapa suku di Pulau Irian (termasuk di Papua Niugini) ditemui penggunaan hubungan genito-oral dan genito-anal di antara remaja dan laki-laki dewasa sebagai bagian ritus inisasi. Alasan di balik ritus semacam itu bermacam-macam, antara lain dalam rangka melengkapi dualisme kosmologis unsur-unsur pria-wanita, Timur-Barat, siang-malam dan lain-lain (misalnya pada suku Marind-Anim di pantai Selatan Irian Jaya) atau dalam rangka membantu pencapaian maskulinitas melalui inseminasi para remaja putra oleh laki-laki yang lebih dewasa (misalnya pada suku “Sambia” di dataran tinggi Niugini).
5. Perilaku Homoseksual Dilembagakan dalam Seni Pertunjukkan Dalam pola ini, seni pertunjukkan kadang melibatkan pemeran yang menjalankan perilaku homoseksual, seperti pada tari Sewudati di Aceh, yang diiringi puisi religius dengan tema homoerotisme, atau mengadopsi peran jenis kelamin yang lain, yang biasanya juga menjalankan perilaku homoseksual, seperti pada pertunjukkan lenong di masyarakat Betawi; tari gadrung di Banyuangi dan Bali Barat, pertunjukkan ludruk (termasuk tari ngremo), tari bedhaya di Jawa, pertunjukkan sadhur di Madura; dan tari masri di Makasar.
Di beberapa negara, keberadaan kaum LGBT sudah dapat diterima dengan baik di tengah kaum heteroseksual. Di Belanda misalnya, sudah membuat dan mengesahkan Undang-Undang yang mengatur tentang pernikahan sejenisnya. Di Amerika Serikat sudah dideklarasikan oleh Barack Obama dengan memuji kaum LGBT Amerika untuk sebuah kontribusi luar biasa serta memperkuat jalinan sosial Amerika. Di negara Iran, keberadaan kaum homoseksual sangat dilarang, namun tidak melarang warganya berganti jenis kelamin. Operasi jenis kelamin menjadi pilihan warga Iran untuk mendapatkan status yang lebih jelas.
Dari keterangan diatas dapat saya simpulkan bahwa setiap negara, setiap budaya, setiap suku memandang LGBT berbeda-beda tergantung pada persepsi masing-masing. Ada yang positif dan ada yang negatif,ada yang menerima dan ada yang menolak.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Homoseksual hanya sebatas mengekspresikan seksualitas dan rasa kasih sayang kepada manusia. Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) terbitan Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Diagnostic and Statistical Manual (DSM) IV dari Ikatan Psi‐kiatri Amerika (APA), dan International Classification of Diseases (ICD) 10 dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ketiga‐tiganya menyatakan bahwa homoseksual sebagai varian biasa dari seksualitas manusia, dan bahkan menganjurkan agar dalam kasus orang yang ragu‐ragu akan homoseksualitasnya, psikolog dan psikiater mengarahkannya untuk menjadi homoseks yang lebih dapat menerima diri.
Lesbian merupakan satu bentuk hubungan yang dijalinkan secara sejenis yaitu di antara wanita dengan wanita (Brown 1995; Golden 1987; Sophie 1985; 1986). Di Malaysia, kajian yang dilakukan oleh Jaringan Melayu Malaysia (JMM) mendapati sebanyak 21 laporan polis telah dibuat sepanjang tahun 2011 berkenaan pembabitan pelajar sekolah rendah dan menengah dalam kegiatan seks luar tabii yang lebih dikenali sebagai seks sejenis. Presidennya, Azwanuddin Hamzah berkata, statistik bagi seluruh negara amat membimbangkan dan keadaan dijangka menjadi lebih dahsyat sekiranya perjuangan golongan LGBT mendapat tempat di negara ini (Farhana Joni 2012). Namun demikian, kejayaan untuk mendapatkannya amat tipis sekali kerana masyarakat dunia sadar dengan keburukan pengamalan hubungan songsang tersebut. Hasilnya, mereka berhadapan dengan pelbagai pengalaman kepayahan klinikal yang menggugat kesejahteraan.
Di Amerika Syarikat seumpamanya, kemunculan lesbian adalah tinggi berdasarkan kajian oleh Laumann et al. (1994) di mana mereka mendapati bahawa sebanyak hampir 10% daripada seramai 1511 responden lelaki dan 1921 responden yang ditemubual menyatakan mereka meminati individu daripada jantina sama semasa remaja lagi.
Psikologi lintas budaya memandang bagaimana perilaku individu dalam berbagai budaya. Namun bagaimana perlakuan di tiap negara terhadap GWL?
Bagaimana penerimaan masyarakat terhadap GWL?
Bagaimana GWL dalam berbagai negara?
Di Indonesia kebanyakan masyarakat menentang keras, GWL, LGBT dan hal-hal yang tidak normal dan diluar norma.
Tentunya dalam berbagai negara memiliki pandangan, persepsi dan undang-undang untuk menentukan hak-hak GWL.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Di dalam kehidupan terdapat sekelompok orang yang memiliki orientasi seksual berbeda. Orientasi seksual menjadi tiga bagian yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Masyarakat lebih menerima keadaan seseorang untuk menjadi heteroseksual. Permasalahan yang dihadapi kaum GWL di Indonesia adalah mengenai keberadaan kaum GWL yang masih terasa asing untuk bisa diterima di lingkungan awam karena merupakan penyimpangan orientasi seksual yang bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa sebagian masyarakat memandang kaum GWL adalah simbol kekejian, suatu aib yang memalukan keluarga.namun kaum GWL tetap memperjuangkan eksistensi diri serta melawan diskriminasi sosial yang ada.
Di beberapa negara mungkin telah mengakui hak-hak dari GWL dan melegalkan pernikahan sesama jenis seperti belanda dan negara bagian Amerika Serikat (Connecticut, Iowa, Massachussets, Oregon, New Hampshire, New York, New Jersey, Vermont, Maryland, Hawaii, Maine, Washington DC) namun apakah hal ini menjamin bahwa mereka tidak mendapatkan penolakan dari masyarakat di negara itu?
Menjawab pertanyaan bagaimana psikologi lintas budaya dalam memandang GWL, tentu saja pertama kali mari kita pertanyakan. Apa itu orientasi seksual dimata masyarakat? Definisi teoritis mengenai orientasi seksual mungkin bisa bersifat universal. Namun bagaimana dengan oprasionalnya?

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual, bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksual-homoseksual
Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Desorder), homoseksulitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi olah APA dari DSM maka LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal.
Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sejenis di seluruh Negara Bagian, dengan demikian pernikahan sejenis dilindungi oleh undang-undang Negara. Atas dasar apa Mahkamah Konstitusi tertinggi di Amerika akhirnya melegalkan pernikahan sesama jenis? Hal-hal dasar ini salah satunya dijelaskan oleh Ron Kampeas dari San Diego Jewish Journal bahwa hak asasi manusia dan kesamarataan yang mendasari legalisasi hal ini. Kaum gay, lesbi, biseksual, dan transgender adalah manusia yang sama dengan manusia lainnya yang dianggap normal. Oleh karena itu, mereka pun perlu dilindungi hak asasi manusianya.
Yang menarik adalah bahwa belum ada negara dari Asia di dalam list Bahkan Jepang yang toleran terhadap pasangan sejenis pun belum. Sepertinya, semakin kental pengaruh agama dalam pemerintahan suatu Negara maka akan semakin jauh Negara tersebut dari legalisasi pernikahan sejenis.
Colin Spencer mencatat bahwa negara-negara Islam/mayoritas Muslim masih menjadi tempat yang tidak mengakomodasi hak seksual homoseks dan LGBT. Karena itu,Karena itu, wajar apabila upaya pembongkaran terhadap ajaran agama yang dianggap heteronormatif giat dilakukan oleh akademisi muslim pendukung LGBT di negara mayoritas muslim seperti Indonesia.
Psikologi lintas budaya memandang bagaimana perilaku individu dalam berbagai budaya. Bagaimana fenomena GWL di tiap tiap negara? Tentu berbeda sesuai dengan pandangan, undang undang, agama, persepsi dan banyak faktor yang menentukan hak-hak GWL di setiap negara.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Perkembangan GWL tidak terlepas dari perkembangan globalisasi. Globalisasi telah berkontribusi secara nyata dalam mengembangbiakkan budaya dan identitas kelompok GWL. Globalisasi melahirkan bentuk baru budaya lokal yang sejalan dengan budaya global. Pada dasarnya, perilaku LGBT bukan bawaan, bukan karena faktor genetik. Melainkan penyakit sosial, dan bertentangan dengan ketetapan Tuhan, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia secara berpasangan yang berbeda untuk saling tarik-menarik dan untuk berkasih sayang. Pendapat-pendapat bahwa GWL tidak bisa diubah secara psikologis juga keliru besar. Faktanya penyakit ini bisa diobati secara psikologis.
Di berbagai budaya Barat keberadaan GWL telah diakui dan bahkan telah dilegalkannya pernikahan sesama jenis. Namun, di budaya Timur, masih menjadi pertentangan akan mengakuinya hak-hak GWL karena GWL bertentangan dengan norma dan budaya masyarakat Timur.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL (Gay, Waria, Lesbian) atau yang sering disebut dengan LGBT merupakan bahasan mengenai orientasi seksual, dimana GWL sendiri menyukai sesama jenisnya (homoseksual). Dalam psikologi, banyak pandangan mengenai GWL itu sendiri. Bahasan mengenai GWL sendiri banyak menyoroti tentang homoseksualitas merupakan suatu abnormalitas. Untuk membahas hal ini, saya mengutip tulisan dalam situs http://www.sarlitosarwono.com/358524548 bahwa ada 4 kriteria orang memandang homoseksual sebagai abnormalitas. Kriteria pertama, adalah kriteria statistik, yaitu sesuatu yang jarang, biasanya dianggap abnormal. Demikian pula karena jarang dijumpai, homoseks dianggap abnormal. Dalam hubungannya dengan homosekseksualitas, bahkan ada kebudayaan-kebudayaan tertentu yang menganggap homoseks sebagai orang-orang yang luar biasa. Misalnya di kalangan pemain Reog Ponorogo, para Warok (jagoan) dilarang berhubungan seks dengan wanita demi menjaga kesaktian mereka. Sebagai kompensasinya mereka mengasuh gemblak (anak-anak laki-laki yang berwajah ayu) sebagai penyaluran hasrat seksualnya. Kriteria kedua adalah efisiensi peran. Homoseksual juga dianggap inefisien dalam peran hetero seksualnya, sehingga dianggap abnormal, tetapi sebenarnya dalam hubungan dengan sesama jenis, fungsi seksualnya tetap efisien dan efektif. Selain itu banyak homoseksual yang sukses dalam karir dan profesi. Karena itu, kriteria efiesiensi peran ini juga tidak tepat untuk mengkategorikan homoseksual sebagai abnormal. Kriteria berikutnya adalah bertentangan dengan norma. Homoseksual dianggap bertentangan dengan agama Islam, Kristen, Yahudi, akan tetapi dianggap biasa dalam agama Hindu versi India. Di Thailand yang mayoritasnya beragama Buddha, homoseks dan transgender dianggap normal. Bahkan klinik-klinik operasi kelamin di negara tersebut adalah legal. Juga homoseksual tidak dianggap abnormal oleh DSM (Panduan Diagnostik dan Statistik untuk Gangguan Jiwa) versi IV dan V (diterbitkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika) dan ICD (Petunjuk Internasional untuk Penyakit yang diterbitkan WHO/Organisasi Kesehatan Sedunia), serta PPDGJ (Pedoman Penggolongan Penyakit dan Diagnosis Gangguan Jiwa) versi III dari Indonesia. Kriteria terakhir adalah kriteria berdasarkan laporan pasien sendiri. Sebagian homoseksual merasa galau atas keadaaan dirinya (disebut homoseks ego distonik), karena itu dia curhat ke temannya atau minta bantuan psikiater atau psikolog. Sebagian lainnya santai-santai saja dengan keadaan homoseksualitasnya bahkan enjoy dengan keadaan dirinya (disebut homoseksual ego sistonik). Homoseksual yang ego distonik itulah yang kita golongkan abnormal, sehingga perlu dibantu, sedangkan yang ego sistonik tidak dianggap sakit atau abnormal, padahal kondisi keduanya sama. Jadi, kriteria GWL normal atau abnormal dikembalikan lagi pada orang-orang yang memandangnya.
Dalam masyarakat Indonesia sendiri, GWL banyak ditentang masyarakat karena menurut Kadir (2007), masyarakat Indonesia pada umumnya menjunjung adanya orientasi seksual yang heteronormatif sebagai orientasi yang normal. Heteronormatif merupakan norma, hukum, atau aturan dan pandangan yang hanya mengutamakan kepentingan heteroseksual, sehingga di luar hubungan heteroseksual adalah hal yang tabu, terlarang dan pantas mengalami diskriminasi maupun penyingkiran. Dan alasan lain adalah karena Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang melarang homoseksual itu sendiri, dimana hal tersebut memang tertulis dalam kitab suci masing-masing agama.
Selain di Indonesia, banyak pula yang membahas GWL ini terutama mengenai tidak tercantumnya lagi homoseksual sebagai gangguan dalam sejak tahun 1973 dalam DSM. Namun tidak tercantumnya homoseksual dalam DSM, memiliki sejarah sendiri.
Diawali dengan hasil studi Kinsey pada tahun 1948, dimana Kinsey mengkritik habis-habisan kecenderungan para peneliti untuk mengkotak-kotakkan homoseksual dan heteroseksual sebagai dua tipe manusia yang berbeda, studi Kinsey sendiri memperkenalkan skala 0 hingga 6 untuk mengklasifikasi perilaku atau fantasi seksual dari : “exclusively heterosexuals” hingga “exclusively homosexuals” .
Dari bidang psikologi, sebuah studi yang sangat mengejutkan dihasilkan oleh Evelyn Hooker. Hooker menunjukkan hasil tiga test proyektif (TAT, MAPS, dan Rorschach) dari tiga puluh orang lelaki homoseksual yang didapatkan dari Mattachine Society dan tiga puluh orang lelaki heteroseksual. Kedua kelompok ini dikelompokkan lagi berdasarkan IQ, umur dan latar belakang pendidikan. Hasil studi Hooker tersebut menunjukkan bahwa para psikolog yang telah berpengalaman sekalipun tidak dapat membedakan hasil test antara homoseksual dan heteroseksual.serta tidak ada perbedaan antara fungsi mental keduanya.Hasil studi ini akhirnya dipresentasikan di tahun 1956 di Chicago dalam konvensi American Psychological Association. National Institute of Mental Health sangat terkesan dengan hasil penelitian Evelyn Hooker sehingga mendapatkan penghargaan untuk melanjutkan hasil karyanya yang telah mengubah sikap dalam komunitas psikologi terhadap homoseksual. Hasil studi ini pula yang mempengaruhi keputusan APA untuk menghapus homoseksualitas di tahun 1973. Homoseksualitas sendiri telah dimasukkan ke dalam gangguan mental di DSM-1 pada tahun 1952 sebagai gangguan kepribadian sosiopath, dikarenakan dianggap melanggar norma masyarakat. DSM-II yang diterbitkan pada tahun 1968, menjadikan homoseksualitas sebagai daftar kelainan seksual, namun tidak dimasukkan sebagai gangguan kepribadian. Penerbitan DSM-II ini berbenturan dengan kemunculan gerakan hak homoseksual. Kerusuhan Stonewall pada tahun 1969 yang berdarah menjadi sebuah momentum tersendiri. Setelah berhasil menantang usaha polisi dan pemerintah untuk menutup tempat umum dimana para gay berkumpul, aktivis gay dengan segera menantang para psikiater.
Akhirnya, terjadilah konfrontasi terhadap APA yang dilakukan oleh aktivis homofil di beberapa pertemuan tahunan antara 1970 dan 1972. Sebagai hasil dari aktivis gay terus menerus melakukan protes di pertemuan tahun 1970 dan 1971, maka akhirnya digelarlah sebuah presentasi yang mendukung gay pada tahun 1972. Pada pertemuan ini John Fryer, MD muncul dalam sebuah panel dengan karyanya berjudul “Psychiatry: Friend or Foe to Homosexuals?” yang diselenggarakan oleh aktivis gay Barbara Gittings dan Frank Kameny, yang muncul bersama Fryer serta bersama Judd Marmor, M.D. seorang psikiater heteroseksual dan pendukung penghapusan homoseksualitas dari diagnosis.
Di saat itu, Dr.Fryer muncul sebagai Dr.H. Anonymous, menyamar dengan tuksedo yang berukuran kebesaran dan menggunakan sebuah topeng untuk menyamarkan identitasnya. Dia mengejutkan para penonton psikiater dengan menyatakan dalam sebuah suara yang diubah, “I am a homosexual. I am a psychiatrist.” Dia lalu menjelaskan dengan menggambarkan kehidupannya sebagai seorang psikiater gay yang tertutup dan harus hidup dalam sebuah bidang yang masih menganggap homoseksualitas sebagai gangguan kejiwaan. Inilah pertama kalinya seorang psikiater gay berani menampilkan dirinya di antara rekan sejawatnya.
Kelompok pro dan kontra homoseksual pun semakin terlihat jelas di kalangan komunitas psikiatri. Beberapa anggota APA menunjukkan hasil penelitian yang mendukung bahwa homoseksualitas ada dalam jumlah banyak orang yang menunjukkan fungsi psikologis yang normal dan berada di dalam berbagai budaya. Dr. Robert Spitzer dan anggota lainnya dari Satuan Tugas APA setuju untuk bertemu dengan kelompok aktivis gay yang menunjukkan bukti ilmiah dan meyakinkan untuk mempelajari lebih lanjut mengenai homoseksualitas. Penelitian selanjutnya akhirnya meminta bahwa homoseksualitas dihapuskan dari DSM di dalam sebuah proposal. Proposal ini akhirnya disetujui oleh Dewan Penelitian dan Perkembangan APA, Komite Referensi, dan Perwakilan Cabang Distrik sebelum akhirnya diterima oleh Board of Trustee dari APA pada Desember 1973. Organisasi profesi kesehatan jiwa lainnya seperti American Psychological Association dan National Association of Social Workers akhirnya menyetujui aksi ini.
Beberapa anggota APA, terutama para ahli psikoanalisa terus memaksakan pandangan patologis mengenai homoseksualitas, menantang pimpinan APA dengan menyerukan referendum keanggotaan seluruh APA. Keputusan untuk menghapus homoseksualitas ditegakkan oleh suara mayoritas 58% anggota APA.
Ketika diagnosa homoseksualitas ini dihapuskan pada tahun 1973, APA tidak begitu saja menerima sepenuhnya model normal homoseksualitas (Drescher 1998, Bayer 1987, Krajeski 1996). Akibat adanya perlawanan dari pihak kontra, pimpinan APA akhirnya membuat sebuah kompromi. Kompromi inilah yang meletakkan diagnosis Sexual Orientation Disturbance (selanjutnya disingkat SOD) untuk menggantikan posisi homoseksualitas. Diagnosa SOD ini ditegakkan bagi homoseksual yang berada dalam konflik dengan orientasi seksualnya. Hal ini pun tetap memicu kontroversi tersendiri, karena tidak ada heteroseksual yang tidak bahagia dengan heteroseksualitasnya sehingga mencari perawatan untuk menjadi homoseksual. Tahun 1980 DSM-III akhirnya SOD digantikan oleh homoseksual ego distonik.
Proses revisi DSM-III terhadap homoseksual ego distonik juga memicu kontroversi besar. Dalam debat ini, anggota APA lesbian dan gay yang terbuka mengenai orientasi seksual mereka akhirnya memainkan peran penting dalam membawakan perubahan (Krajeski, 1996). Anggota APA Advisory Committee mulai mengerjakan revisi. Pihak pro dari homoseksual ego distonik berargumen bahwa diagnosis ini dapat berguna secara klinis dan penting untuk statistik dan penelitian. Pihak kontra homoseksual ego distonik menekankan bahwa membuat pengalaman subjektif klien terhadap homoseksualitas sebagai faktor penentu diagnosa mereka tidaklah konsisten dengan pendekatan berdasarkan bukti yang telah dianut oleh psikiatri. Pihak kontra berargumen bahwa data empiris tidak mendukung diagnosa ini sehingga tidaklah pantas untuk memberikan label budaya yang bersifat homophobik sebagai gangguan kejiwaan itu sendiri. Komite APA setuju dengan pihak kontra dan diagnosa homoseksual ego distonik dihapuskan dari DSM-III-R pada tahun 1987.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL sering juga disebut LGBT adalah Lesbian, Gay, Bisex, Transgender merupakan penyimpangan orientasi seksual. dahulu dalam DSM (diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder) dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. perubahan paradigma psikologi dalam melihat ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas LGBT secara umum. setelah diklarifikasi oleh APA dari DSM maka LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal. LGBT di Indonesia sangat ditentang karena melanggar budaya, adat istiadat dan agama yang ada di Indonesia. namun, dibeberapa negara lain telah dilegalitaskan. di Indonesia LGBT dipandang seperti hal yang menjijikkan dan tidak bermoral. dan masyarakat Indonesia tidak segan mencemooh kaum LGBT. namun sampai sekarang kaum LGBT masih mempertahankan hak-hak mereka. muslim masih menjadi tempat yang tidak mengakomodasi hak seksual homoseks dan LGBT. karena itu wajar apabila uapay pembongkaran terhadap ajaran agama yang dianggap heteronormatif giat dilakukan oleh akademisi muslim pendukung LGBT di negara mayoritas seperti Indonesia. Psikologi lintas budaya pastinya memandang bagaimana GWL diberbagai negara. yang pastinya mempunyai fenomena-fenomena yang tidak sama, tergantung bagaimana budaya, adat istiadat, agama, dan masyarakat di negara tersebut memandangnya.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL sudah tidak asing dipendengaran para orang-orang awam terkhusus para orang-orang yang bergerak di bidang psikologi. disini lah tugas kita sebagai mahasiswa psikologi untuk meluruskan penyimpangan orientasi sex ini. sebelumnya GWL itu sendiri nama lain dari LGBT yang merupakan singkatan dari Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender. kita dapat melihat tidak ada batasan antara hak dan kewajiban dari segi jenis kelamin laki-laki dan perempuan. dan juga terjadi penyimpangan diantara hak dan kewajiban laki-laki maupun perempuan.
di belahan bumi barat ini sudah banyak terjadi kesalah fungsian antara laki-laki dan perempuan. tidak hanya terbatas kepada orang awam saja, tetapi sudah masuk ke dunia entertaiment. dikarenakan dunia banyak melihat dan meniru gaya hidup orang barat, dan itu tersebar cepat karena tidak adanya batasan, atau hukum yang menguasainya. hal ini juga dapat terjadi melalui lingkungan, yaitu teman pergaulan.
tanpa kita sadari teknologi secara lambat namun pasti sudah menampilkan pola-pola orientasi sex yang salah. dan didukung oleh keimanan yang kurang dalam diri individu itu sendiri. maka terjadilah pola gaya hidup yang banyak mencontoh budaya barat tersebut. inipun dapat kita rasakan efeknya di Indonesia. Indonesia sendiri melalui teknologi yaitu media sosial, media massa mulai mengikuti gaya hidup orientasi sex yang salah dari dunia barat itu sendiri. tetapi yang sekarang membedakan antara budaya barat dan timur merupakan dari sistem pemerintahan yang sangat peka terhadap issue pada masyarakat dan mempunyai ideologi yang sangat jelas dan menentang yang adanya LGBT tersebut.
tetapi apabila pemerintah tidak cepat membuat peraturan dan membatasi masyarakatnya, maka LGBT bisa mencapai seperti ROKOK yang dapat “dikonsumsi” oleh siapapun dan dari kalangan manapun.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

REPUBLIKA.CO.ID,Fenomena lesbian, gay, biseksual dan transseksual (LGBT) dan yang bisa di sebut GWL di Indonesia menjadi sorotan, tak hanya di Indonesia tetapi juga negara luar. Denmark, menjadi negara pertama yang mengakui eksistensi LGBT dalam undang-undang mereka pada 1989. Namun, Belanda, adalah negara pertama yang melegalkan pernikahan LGBT pada 2001. Langkah kontroversial Belanda ini kemudian diikuti oleh sepuluh negara lain antara lain Belgia, Kanada, Spanyol, dan Afrika Selatan.
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) orang di Iran menghadapi tantangan hukum tidak dialami oleh penduduk non-LGBT. Kedua aktivitas seksual sesama jenis laki-laki dan perempuan adalah ilegal.
Jounal of LGBT youth “LGBT view in iran” LGBT
LGBT di Iran telah bertentangan dengan hukum pidana sejak 1930-an. LGBT adalah kejahatan dihukum penjara, hukuman fisik, atau dengan eksekusi. laki-laki gay menghadapi tindakan penegakan hukum yang lebih ketat di bawah hukum daripada lesbian. Namun, diperdebatkan apakah eksekusi dari Mahmoud Asgari dan Ayaz Marhoni, atau tiga orang lainnya dieksekusi pada 2011 di provinsi Khuzestan yang hukuman untuk kejahatan lain atau dilakukan secara khusus karena homoseksual mereka.
Negara-Negara di Timur tengah yang mayoritas pemeluk agama islam cerdrung untuk menolak adanya penyimpangan seperti GWl ini tetapi hal tersebut bertolak belakang dengan negara di Eropa yang mayaroritas pemeluk agama non-islam yang mendukung dengan alasan hak asasi manusia , tapi pertanyaan terpenting adalah semua agama mengajarkan kebaikan dengan melakukan yang benar dan meninggal kan hal yang salah, jika di pandang dari sudut pandang seluruh agama apakah kaum lgbt masih diperbolehkan? dan jika berpandangan pada hak asasi manusia yang mengajarkan untuk menyamakan seluruh hak manusia di muka bumi, apakah kaum LGBT masih di perbolehkan?
Jabawannya tergantung dari kebudayaan yang kita jalani dan kita yakini.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Membicarakan tentang LGBT bukan merupakan sesuatu hal yang tabu lagi di masyarakat. Animo masyarakat terhadap fenomena LGBT ini sudah mulai muncul dipermukaan, baik yang pro maupun yang kontra. Diskusi tentang LGBT pun tak akan lepas dari topik mengenai orientasi seksual, peran gender maupun pandangan dalam konteks budaya, sosial, agama, bahkan sistem dan hukum yang berlaku disebuah negara.
Berdasarkan Journal of Comparative Research In Anthropology and Sociology, Belanda adalah negara yang paling maju dalam dunia LGBT, LGBT sendiri telah dilegalkan pada tahun 1811 setelah Perancis menyerbu negeri dan dikuasai oleh Napoleon yang menghapus hukum sodomi dan menerima kemerdekaan kaum sodominya. Selama abad ke-20 kesadaran homoseksualitas tumbuh dalam masyarakat sehingga menjadi lebih toleran dan melarang terhadap kaum homoseksual, yang akhirnya mengarah ke deklasifikasi sebagai penyakit mental pada tahun 1973. Lebih dari 90% dari orang-orang Belanda mendukung pernikahan sesama jenis, meskipun hanya 30% dan 25% dari Turki dan Maroko yang menerima homoseksualitas. Amsterdam telah dijuluki salah satu kota yang paling ramah LGBT di dunia dengan banyaknya akomodasi yang khusus berkaitan dengan komunitas LGBT, seperti bar gay, pemandian, hotel, tempat, souvenir yang menyediakan informasi tentang LGBT bahkan Homomonument Nasional yang selesai pada tahun 1987 dan merupakan monumen pertama di dunia untuk memperingati kaum homoseksual yang dianiaya dan dibunuh selama Perang dunia II.
India sepertinya juga sejalan dengan etnis Belanda dalam hal penerimaan, berdasarkan Jurnal Gandrung “Keanekaragaman Gender Di Asia: Pertarungan Diskursif dan Implikasi Legal” bahwa masyarakat India khususnya Hindu sendiri mengenal Ardhanarishwari (juga disebut Ardhanari) yaitu merupakan dewa setengah-laki-laki setengah-perempuan yang digambarkan dengan menggabungkan karakteristik dan atribut laki-laki (sisi kanan, Siwa) dan perempuan (sisi kiri, Shakti). Perpaduan laki-laki dan perempuan dalam satu bentuk ini merujuk pada kekuatan spiritual dan juga cinta kasih.
Meskipun di Belanda dan India sudah menerima keberadaan dari LGBT, penduduk LGBT di bagian dunia lain masih bersikap intoleransi terhadap homoseksualitas terutama di negara-negara agama konservatif, seperti Sudan. Di Sudan, negara diatur oleh hukum Islam Syariah, homoseksualitas jelas didefinisikan sebagai ilegal dalam sistem peradilan. Menurut Pasal 148 dari 1991 KUHP, hukuman yang berlaku untuk laki-laki/perempuan yang terlibat dalam kegiatan seksual sesama jenis adalah pukulan, rajam, penjara dan sering kali hukuman mati. Untuk pria homoseksual, pelanggaran pertama dan kedua akan dihukum dengan dipukul dan dalam beberapa kasus adalah rajam atau penjara. Namun apabila sudah pelanggaran ketiga maka akan mendapat hukuman mati. Bagi wanita lesbian, pelanggaran pertama biasanya dihukum dengan rajam dan dicabut bulu mata dan hukuman mati untuk pelanggaran keempat. Di bawah sistem pidana yang keras ini, menjadi LGBT di Sudan sangat berisiko, dan individu di label-ing yang akan membawa stigma tidak menyenangkan dan banyak konsekuensi serius. Dengan kata lain, homoseksual tidak hanya menghadapi hukuman berat sesuai dengan hukum Islam, tetapi juga mengalami penolakan sosial yang selanjutnya membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang serius. Selain homoseksualitas umumnya dianggap sebagai perilaku yang abnormal dan dosa, homoseksual biasanya ditolak dalam kesempatan pendidikan dan pekerjaan. Mereka juga bisa dikucilkan dari keluarga dan komunitas mereka dan sering kali bahkan dibunuh yang disebut “pembunuhan demi kehormatan ‘yang umumnya dilakukan oleh anggota keluarga dekatnya, dikarenakan budaya di Sudan yang menghalalkan darah para pengidap kelainan seksual.
Sedangkan untuk di Indonesia sendiri sebenarnya beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di wilayah Nusantara pada masa-masa terdahulu. Salah satunya adalah dikenalnya Bissu pada suku bugis. Pada suku bugis, sistem gender mereka tidak berdasarkan pembagian biner. Bahkan, gender dapat dibedakan menjadi lima: laki-laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah orang-orang dengan tubuh laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, melakukan pekerjaan perempuan dan kerap mempunyai pasangan laki, mereka banyak dijumpai di masyarakat dan melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan, dimana pada budaya Jawa Calabai ini sering dikenal dengan Wandu dan adat betawi mengenalnya dengan Banci. Calalai jauh lebih jarang dan kurang dikenal, mereka adalah orang-orang dengan tubuh perempuan yang hidup bersama pasangan perempuannya dan melakukan peran laki-laki. Menurut Graham (2004) dalam tesisnya mengenai “Hunters, Wedding Mothers and Androgynous Priests; Conceptualising Gender among Bugis in South Sulawesi, Indonesia” Calabai cenderung tidak berperan dalam upacara-upacara meskipun beberapa calabai menjadi bissu, kategori bissu memiliki tempat tersendiri. Seorang bissu mempunyai fungsi ritual yang jauh lebih penting. Dahulu mereka adalah penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut mereka dilihat sebagai biseksual, karena pusaka-pusaka ini memerlukan persatuan dengan seks lawan jenis, sementara seks antar-pusaka tidak dikenal. Maka bissu dianggap sebagai “pasangan hermafrodit pusaka”. Bissu ini sangat dihormati dan Bissu mengisi berbagai peran dalam ritual, sebagai contoh dalam upacara-upacara yang berhubungan dengan perkawinan dan kelahiran, acapkali mengalami kerasukan. Kroef menggambarkan bissu berpakaian separuh laki-laki separuh perempuan untuk tujuan-tujuan ritual, serupa dengan konsep Ardhanari. Sambia di Papua Nugini juga mengasimilasi kategori seks ketiga, kwolu-aatmwol. Mereka dilihat dalam sudut pandang ambigu. Eksistensi mereka dikenali, dan beberapa dari mereka dapat meningkat kedudukannya dan menjadi dukun, tapi mereka tetap tidak dipandang sebagai sepenuhnya (bergender) laki-laki ataupun perempuan. Berarti pada budaya sendiri menekankan bahwa di zaman pra/modern, penghargaan diberikan untuk biseksualisme dan androgini.
Di Indonesia sebenarnya tidak ada UU yang secara eksplisit melarang pengungkapan dan penampilan gender (LGBT)., bahkan organisasi LGBT sudah berdiri sejak tahun 1987 dengan nama GAYa Nusantara yang menjalankan program Peningkatan Kapasitas Pembela Hak Asasi Manusia LGBT atas nama Forum LGBTIQ Indonesia. Program yang mendapatkan dukungan Ford Foundation melalui Hivos ini, memberikan pelatihan kepada dua puluh satu aktivis LGBT bersama mitra pembela hak asasi manusia setempat, mengenai azas-azas hak asasi manusia dan titik temunya dengan orientasi seksual serta identitas gender, serta berbagai metode pemantauan dan dokumentasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Jadi fenomena GWL sendiri itu bisa dilihat dalam multifactor, baik dari budaya, psikososial, agama, medis, dan sistem yang berlaku dinegara tersebut. Jika disebuah negara tersebut LGBT merupakan golongan minoritas dan perilaku abnormal maka akan berdampak pada stigma masyarakat dan psikososialnya, dimana kaum LGBT akan cenderung menutupi identitas dirinya dan terpaksa melaksanakan kehidupannya dengan peran ganda dikarenakan adanya diskriminasi, intoleransi dan tidak adanya perlindungan hukum atas identitasnya. Sedangkan untuk disebuah negara yang sudah melegalkan baik di situ mereka tetap merupakan kaum minoritas, namun masyarakat sudah memberikan tempat untuk mereka sehingga mereka dapat menjalankan kehidupan mereka dengan normal, mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak dan tentunya mereka merasa aman dengan adanya perlindungan hukum atas identitas mereka.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL itu sendiri adalah singkatan dari Gay, Waria, Lesbian, yang sekarang lebih dikenal dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisex dan Transgender). Dulu dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual Of Mental Disorder) dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa, tapi setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974, APA (American Psychiatric Association) menghapus nya dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang melegalkan homoseksual, tapi tidak dengan negara Indonesia yang masih merasa asing dengan keberadaan kaum GWL yang bertentangan dengan agama dan adat istiadat di masyarakat.
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana psikologi lintas budaya dalam memandang GWL?
Menurut saya GWL di dalam Psikologi Lintas Budaya termasuk kedalam culture specifik yang artinya tidak dapat berlaku secara universal dan hanya dapat berlaku pada budaya tertentu saja. Mengingat pembentukan budaya yang mengakar kuat karena beberapa unsur yang memperkuat budaya itu sendiri sehingga penerimaan GWL itu sendiri tidak akan semudah seperti penerimaan kemajuan teknologi misalnya.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

gambaran umum hak-hak LGBT di Indonesia dalam kaitan secara luas
dengan hukum, kebijakan pemerintah, sikap sosial budaya dan agama, serta secara khusus
dalam kaitan dengan kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan dan generasi muda,
kesehatan dan kesejahteraan diri, urusan keluarga, media dan teknologi informasi
komunikasi (TIK), hukum, hak asasi manusia dan politik serta kapasitas organisasi LGBT.
Laporan ini mengidentifikasi berbagai perbedaan antardaerah dalam hal penerimaan
terhadap LGBT dan organisasinya, serta bagaimana pengaruh opini masyarakat Indonesia
terhadap hukum serta korupsi berdampak terhadap hak-hak LGBT. Bagian tambahan
menelusuri situasi khusus mengenai hak-hak LGBT di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Meskipun beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di wilayah
Nusantara pada masa-masa terdahulu, identitas homoseksual baru muncul di kota-kota
besar pada awal abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an, gerakan LGBT mulai
berkembang melalui kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok wanita
transgender, atau yang kemudian dikenal sebagai waria. Mobilisasi pria gay dan wanita
lesbian terjadi pada tahun 1980-an, melalui penggunaan media cetak dan pembentukan
kelompok-kelompok kecil di seluruh Indonesia. Mobilisasi ini semakin mendapatkan
dorongan dengan maraknya HIV pada tahun 1990-an, termasuk pembentukan berbagai
organisasi di lebih banyak lokasi. Pada dasawarsa tersebut juga terjadi sejumlah pertemuan
nasional awal, dengan disertai beberapa perkembangan penting dalam gerakan LGBT, antara
lain pembentukan aliansi dengan berbagai organisasi feminis, kesehatan seksual dan
reproduktif, gerakan pro-demokrasi dan HAM, serta kalangan akademis. Setelah peristiwa
dramatis tahun 1998 yang membawa perubahan mendasar pada sistem politik dan
pemerintahan Indonesia, gerakan LGBT berkembang lebih besar dan luas dengan
pengorganisasian yang lebih kuat di tingkat nasional, program yang mendapatkan
pendanaan secara formal, serta penggunaan wacana HAM untuk melakukan advokasi
perubahan kebijakan di tingkat nasional. Namun keberhasilan ini sangatlah sederhana
dipandang secara keseluruhan, dengan banyaknya organisasi dan individu yang berhasil
melakukan perubahan-perubahan kecil namun tanpa terjadi perubahan besar, baik dalam
perundang-undangan maupun penerimaan oleh masyarakat.
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum nasional
dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas
sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang
LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas
berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui
keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak
Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup Sebagai LGBT di Asia
10
memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam
pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait. Sejumlah Perda melarang
homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai perbuatan yang tidak
bermoral, meskipun empat dari lima Perda yang terkait tidak secara tegas mengatur
hukumannya.
Kebijakan yang terkait dengan hak-hak LGBT cukup bervariasi, dengan adanya
sejumlah komisi nasional yang mengakui dan memberikan dukungan bagi kelompok LGBT,
serta mengungkapkan dukungan resmi bagi kelompok LGBT karena wabah HIV. Namun
secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan oleh
para aktivis Islamis garis keras dan preman. Sementara orang LGBT yang tergolong
gelandangan karena berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semenamena
dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan.
Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender
mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima
dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang
masalah-masalah tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar.
Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri. Orang dengan
orientasi seksual atau identitas gender yang beragam mungkin mendapatkan sekedar
toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari
anggota keluarga.
Populasi Indonesia sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, Katholik dan
Kristen. Pada umumnya ajaran agama-agama ini ditafsirkan secara konservatif sehingga
tidak setuju homoseksualitas dan mempengaruhi pandangan masyarakat secara
keseluruhan dengan cara yang negatif, meskipun ada sejumlah individu religius yang lebih
progresif dan bersikap menerima.
Tercatat ada berbagai perbedaan dalam pengembangan komunitas dan kegiatan
LGBT di tingkat daerah, dengan tantangan lebih besar dihadapi di provinsi-provinsi yang
konservatif karena dominasi ajaran Islam dan Kristen. Kegiatan pengorganisasian juga lebih
mudah di kota besar dan menghadapi tantangan lebih besar di daerah yang penduduknya
jarang, sehingga timbul kesulitan dalam hal komunikasi dan transportasi. Khusus di provinsi
Aceh, kegiatan pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus
provinsi tersebut untuk menetapkan hukum berdasarkan Syariah, sehingga menimbulkan
kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan besar kemungkinan
pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti-LGBT.
Sebagai catatan akhir sehubungan dengan hak-hak LGBT di Indonesia adalah
pandangan masyarakat Indonesia terhadap hukum dan penegakannya sebagai hal yang sarat
korupsi. Konteks ini secara luas berdampak negatif pada upaya pengembangan hak-hak
LGBT di Indonesia, karena para aktivis dan individu bisa jadi merasa tidak yakin bahwa
peraturan undang-undang dan kebijakan mampu melindungi mereka. Di samping itu mereka
juga enggan mengupayakan melalui jalur hukum dan lembaga peradilan atau melakukan
advokasi untuk memperjuangkan perubahan di bidang ini, karena adanya faktor persepsi
korupsi ataupun korupsi nyata yang mereka hadapi.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Bagaimana lintas budaya dalam memandang GWL?
Di Indonesia, perkembangan GWL atau dikenal dengan LGBT berkembang dengan cepat. Pengaruh Negara-negara lain menndorong poerkembangan LGBT di Indonesia. Contohnya : adalah dengan pernyataan dari Sekretaris-Jenderal PBB, UNDP Administrator, UN OHCHR dan Presiden, Sekretaris Negara serta Amerika Serikat yang memberikan perhatian kepada LGBT yang mengalami kekerasan dan kehilangan Hak Asasi manusia. Sejak dorongan dari mereka para LGBT untuk diakui dan dilindungi hak nya mulai terjadi beberapa kongres di Indonesia baik yang dilakukan secera terbuka dan tertutup seperti : identitas homoseksual baru muncul di kota-kota besar pada awal abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an, gerakan LGBT mulai berkembang melalui kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok wanita transgender, atau yang kemudian dikenal sebagai waria. Mobilisasi pria gay dan wanita lesbian terjadi pada tahun 1980-an, melalui penggunaan media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil di seluruh Indonesia Pada awal dasawarsa 1990-an, meningkatnya liputan media tentang HIV yang hampir selalu menyebutkan tentang pria homoseksual dan waria, membuka peluang lain bagi beberapa organisasi yang tampil di media massa untuk menjangkau konstituen mereka. Dalam beberapa tahun awal dasawarsa tersebut berdiri berbagai organisasi di Bandung, Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Malang dan Makassar. Para lesbian dan pria transgender juga berusaha mengorganisir diri lagi di Jakarta, Makassar dan Singaraja. Chandra Kirana, yang merupakan kumpulan lesbian di Jakarta, membuat majalah sendiri, yaitu Gaya Lestari, yang selama sekitar dua tahun terbit sebagai sisipan dalam majalah GAYa NUSANTARA. Menjelang akhir tahun 1993, terdapat cukup banyak organisasi dan aktivis individu sehingga mampu menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay Indonesia pertama (KLGI I) di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Semakin banyak organsasi didirikan di berbagai wilayah Indonesia, yaitu: Medan, Batam, Ambon dan lain sebagainya. Diadakan dua kongres lagi, yaitu: KLGI II di Lembang, dekat Bandung (tahun 1995) dan KLGI III di Denpasar (tahun 1997). Hingga pada akhirnya dilakukan kongres di bali yaitu Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia pada bulan Juni 2013. Dialog menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga yang mewakili keseluruhan keragaman organisasi LGBT di Indonesia, Dialog diselenggarakan oleh United Nations Development Programme (UNDP) bersama United States Agency for International Development (USAID) sebagai mitra kerja.
Keseluruhan kongres yang diadakan baik luar dan dalam negri mereka menuntut kesetaraan status dan hak sebagai manusia, Statement inilah yang terus mereka tuntut di Indonesia Apalagi semenjak komite APA setuju dengan pihak kontra dan diagnose homoseksual ego distonik dihapuskan dari DSM-III-R pada tahun 1987., perkembangan LGBT di Indonesia tak lepas dari dukungan dari kelompok LGBT dari Negara-negara lain. Bahkan pada kongres terkahir mereka menuntut setidaknya ada 22 tuntutan kepada pemerinta, masyarakat dan loembaga (dikutip dari Laporan LGBT Nasional Indonesia – Hidup Sebagai LGBT di Asia) tapi hingga sekarang pemerintah belum menanggapi dan mengeluarkan UU perundangan Yang mengatur LGBT.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL … sangat marak dibicarakan saat ini ,,,
Ditambah lagi dengan banyaknya publik figure yang mengungkapkan dirinya sebagai bagian dari LGBT…..
Berdasarkan laporan LGBT di Indonesia yang diselenggarakan di Bali pada bulan juni 2013 , menjelaskan bahwa GWL merupakan ungkapan yang merujuk kepada Gay, Transgender Women and Other MSM , atau masyarakat Indonesia biasa menyebutnya sebagai LGBT.
Ketika kita membicarakan konteks LGBT didalam psikologi lintas budaya, maka kita akan membahasnya berkenaan dengan budaya atau kulture yang ada dalam masyarakat tersebut, seperti yg kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam kulture, dan budaya, serta norma -norma yang mengatur kehidupan, baik norma sosial maupun norma agama.
Masyarakat Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim sebagai pengikutnya, sehingga sangat jelas bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap LGBT. Didalam agama manapun bukan hanya Islam menganggap perilaku LGBT merupakan perbuatan dosa.
Persoalan atau isu mengenai LGBT ini menjadi persoalan yang marjinal tidak pernah usai dibicarakan, masyarakat Indonesia dalam menyikapi fenomena LGBT sebagai penyimpangan seksual yang masih berada dalam wilayah abu -abu, dan tidak dapat sepenuhnya diterima dalam kultur masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat Indonesia membangun prasangka terhadap kaum LGBT , prasangka ini menyebabkan kebencian, perilaku tidak adil, dan diskriminasi.
Tidak hanya Indonesia , bnyak negara di Asia , yang melarang tegas terhadap kaum LGBT, bahkan negara Jepang dan Korea yang merupakan negara maju pun sulit menerima LGBT dalam tatanan lehidupan bermasyarakat.
Sebenarnya dalam DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder ) , tidak ditemukan lagi homoseksual sebagai gangguan kejiwaan, dpat disimpulkan bahwa LGBT bukan merupakan penyakit kejiwaan, melainkan pilihan hidup individu, menjadi beda dengan orang lain.
Oleh karena itu banyak gerakan -gerakan dengan upaya melegalkan LGBT , hal ini dimulai pada tahun 1970 , yaitu pembentukan Gay Liberation Front di London , kampanye LGBT ini merupakan upaya untuk penyadaran terhadap masyarakat kepada kaum LGBT bahwa perilaku mereka bukanlah penyimpangan , dan berhak mendapatkan hak -hak sebagaimana orang lain, sejak itu banyak muncul gerakan -gerakan kampanye LGBT. Negara Barat saat ini telah melegalkan LGBT sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, dan hal ini merupakan ancaman yang besar untuk kehidupan masyarakat Asia.
Sehingga sebagai masyarakat Indonesia perlu menggali kembali akar budaya leluhur agar tidak mudah mengikuti zaman yang semakin global. Karena LGBT tidak hanya merusak diri pelakunya, tetapi juga merusak masa depan bangsa.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL (Gay, Lesbi, Dan Waria) dengan kata lain LGBT. Mungkin banyak pertanyaan yang muncul di benak kita semua menganai LGBT seperti apakah sebenarnya LGBT itu? Faktor apakah yang menyebabkan seseorang bisa menjadi LGBT? Apakah LGBT dikatakan sebagai suatu peyakit mental (mental disorder) ? Apakah LGBT bisa disembuhkan? Bagaimana cara untuk menyembuhkan LGBT? Dan bagaimana pandangan psikologi lintas budaya mengenai hal tersebut? Disisni kita berfokus mengenai bagaimana perspektif psikologi lintas budaya menanggapi LGBT.
• Matsumoto, (2004) : Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
Seggal, Dasen, dan Poortinga (1990) : psikologi lintas budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
• Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dengan fungsi-fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern (dalam Saffet, 1985) menyebutkan sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa ban karet). Predisposisi seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetic menentukan sampai dimana ban karet tadi dapat ditarik dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tadi akan ditarik atau direntang. Dari hipotesa diatas dapat ditarik bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang.
• Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hinggan prinsip.
LGBT sama hal nya dengan masyarakat yang lain hanya perbedaan konsepdiri, kepribadian, serta kebiasaanya yang membuat masyarakat tidak sedikit beranggapan bahwa hal tersebut sesuatu yang tidak normal serta melanggar aturan, melenceng dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap positif mengenai LGBT.
LGBT juga berhak menetukan prisip-prinsip, serta bertingkahlaku menurut konformitasnya. Karena budayalah yang menentukan seseorang untuk berperilaku, menetukan konsepdirnya. Orang-orang LGBT mempunyai hak untuk menentukan pilihan nya sendiri, tanpa ada paksaan, ataupun memaksakan individu untuk berperilaku.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang permasalahan orientasi seksual dan identitas gender adalah melalui pembicaraan secara terbuka di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi, tempat-tempat ibadah (dipimpin oleh pemuka agama yang berwawasan terbuka), atau pada acara radio dan televisi, dan lain sebagainya.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Menurut saya, GWL itu sebagian dari perilaku yang menyimpang, diamana GWL (Gay,waria,lesbian) atau yang disebut dengan LGBT, mereka sangat menyukai lawan sesama jenisnya, oleh karena itu bagaimana Psikologi Lintas Budaya memandang GWL tersebut,? Menurut (Oetomo, 2001). Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual karena berkaitan dengan perasaan dan konsep diri. Namun dapat pula seseorang menunjukkan orientasi seksualnya dalam perilaku mereka. Ada beberapa jenis Orientasi seksual yaitu Heteroksesual yaitu aktivitas seksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis, yang kedua Biseksual yaitu dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari lawan jenis dan sesama jenis, yang ketiga Homoseksual dimana pasangan seksual yang dipilih berasal dari sesama jenis, pria homoseksual desebut gay dan perempuan homoseksual disebut dengan lesbian. LGBT bukanlah penyakit ataupun gangguan jadi tidak perlu disembuhkan, kecuali jika mereka (LGBT ) merasa tidak nyaman maka dapat dikatakan mengalami gangguan dan peru dilakukan terapi. Perubahan-perubahan perilaku seksual atau penyakit sosial terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia, tidak terlepas dari dimensi kultural. Budaya Barat menganggap bahwa seks bebas sesuatu yang wajar untuk dilakukan, Sedangkan menurut budaya timur, perilaku seks merupakan hal yang tabu dan melanggar norma sosial.
Indonesia merupakan negara yang kental akan unsur kebudayaan dan adat ketimuran yang dikenal sangat ramah dan santun. Berbeda dengan dunia Barat yang merupakan negara liberal serta dikenal dengan budaya yang terbuka Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan itu, pembicaraan tentang seks di budaya masyarakat Indonesia dianggap tabu karena pembicaraan seks dimata masyakarat kita selalu diartikan dalam arti yang sempit, hanya seputar kejadian seksual yang mengarah kepada persetubuhan atau reproduksi saja.

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

Pada zaman yang modern seperti sekarang ini, GWL atau yang biasa sering dikenal sebagai LGBT, sudah marak tersebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia sendiri. Ada beberapa Negara yang sudah melegalkan pernikahan sesame jenis. Di Indonesia sendiri belum melegalkan pernikahan sesama jenis seperti di Negara-negara yang ada di Barat. Tetapi pada pertengahan tahun 2015 tahun lalu, berita yang tersebar di Bali yang mengadakan pernikahan sesame jenis itu membuktikan bahwa pelaku-pelaku homoseksual semakin hari semakin jelas terlihat di dunia nyata.
Identitas homoseksual baru muncul di kota-kota besar memasukin pada abad 20. Secara signifikan, identitas transgender wanita-ke pria, kurang begitu jelas. Yang perlu di tambahkan secara singkat disini adalah bahwa orang Indonesia secara umum, waria dalam kehidupan nyata lebih banyak dikenal dari pada orang gay, lesbian, atau biseksual. Dengan kata lain, orientasi atau perilaku seksual yang tidak konformis seringkali di persepsi sebagai identitas atau ekspresi gender non-conforming.
Budaya nusantara mengenal LGBTI dengan beragam sebutan lokal seperti wandu, banci, tomboi (Jawa), warok dan gemblakan (di Ponorogo), Bissu, calalai, calabai, panter, lines (Bugis, Makasar), dan lain-lain. Pada awalnya keberadaan mereka secara terbuka diterima oleh masyarakat dan tidak dimusuhi. Keadaan ini bergeser mengikuti sejarah Indonesia. Sejarah kolonial Hindia Belanda yang konservatif –viktorian – mempengaruhi bagaimana orang-orang LGBTI ini dilihat dan dikategorikan. Selain itu sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia pun turut serta mempengaruhi posisi orang-orang LGBTI di dalam masyarakat. Bila pada budaya-budaya tertentu memberikan ruang yang cukup prestisius kepada Bissu dan lainnya maka dengan perubahan waktu dan berkembangnya berbagai ideologi lain, maka posisi-posisi inipun turut bergeser.
Bila dulu orang terbuka dan menerima keberadaan LGBT dengan beragam bentuk, sekarang justru orang cenderung memperlakukannya sebagai “satu kelompok kategori” yang sama. Seolah orang LGBT adalah satu kelompok homogen yang sakit mental dan harus disembuhkan dan ditobatkan karena mereka adalah kumpulan orang yang “berdosa”. Padahal situasi psikologis orang-orang LGBT tidak bisa disamakan dan digeneralisir. Jadi menurut pandangan lintas budaya itu sendiri, pelaku GWL belum terlalu berani untuk menampakan wujudnya di dunia yang masih menganggap mereka sebelah mata, yang membuat pelaku LGBT itu membuat komunitasnya sendiri. Lintas budaya masih memandang LGBT sebagai komunitas yang pro dan kontra di lingkungan masyarakat

nofransekasaputraMay 3, 2016 at 3:39 am

GWL (Gay, Waria, & Lesbian) yang sering dikenal orang-orang sebagai sebutan LGBT. Di Asia terdapat beberapa komunitas LGBT yang masih aktif organisasinya. Orang-orang Indonesia masih kebingungan untuk membedakan antara waria dan gay, padahal keduanya berbeda satu sama lain, kelihatannya gay Indonesia mulai menyebut diri mereka gay dan lesbi pada tahun 1970 sampai awal 1980an (saya menggunakan istilah gay dan lesbi seterusnya dalam esai ini). Hal ini nampak selaras dengan pendapat Anderson (1983) tentang peranan penting dari media massa sebagai sarana penciptaan sentimen nasionalisme kolektif di era modem. Ini disebabkan sebagian besar gay dan lesbi di Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris (Indonesia adalah bekas jajahan Belanda) serta tidak bepergian ke negeri-negeri Barat, sekalipun ada peranan media massa yang cenderung ‘memanipulasi berita,’ ide gay dan lesbi dibentuk melalui kondisi keterpencilan dari gay Barat dan subjektivitas lesbian. Dalam beberapa kasus, proses pengidentifikasian ini menguat di bawah rezim pemerintah lokal setelah Suharto jatuh tahun 1998. Meskipun penguatan ‘etnolokal’ terjadi dalam berbagai kasus, tidak ada indikasi bahwa orang-orang Indonesia menggunakannya dalarn konteks gay dan lesbian. Gay dan lesbi Indonesia memandang diri mereka sebagai subjek nasional yang tidak terbatas oleh pulau, kelompok etnis ataupun bahasa. Nampak jelas, bahwa gagasan tentang menjadi gay dan lesbi tidak berasal dari etnis seseorang ataupun tradisi lokalnya meskipun sejarah seringkali menunjukkan, bahwa ide-ide yang datang dari luar dapat ‘dilokalkan.’ Hal menarik lainnya adalah bahwa konsep gay dan lesbi tidak dipandang sebagai subjektivitas global. Para gay dan lesbi Indonesia mengetahui, bahwa di belahan dunia lain ada kalangan yang mendefiniskan kelompok mereka sebagai gay dan lesbian, dan terkadang mereka merasakan adanya rasa keterikatan terhadap komunitas yang samar atau setidaknya cukup yakin berbagi pengalaman bersama mereka. Masalahnya, kalangan gay dan lesbi di Indonesia tidak membina kontak yang intensif dengan kalangan gay atau lesbian Barat, sehingga dari sedikit sekali jumlah ‘gay’ atau ‘lesbian’ yang mengadakan kontak dengan kalangan Barat, dapat diasumsikan bahwa mereka termasuk dalam kaum elit jet-set yang dapat mengambil keuntungan dari globalisasi. Selebihnya, mayoritas gay dan lesbi Indonesia merasakan dirinya sebagai bagian dari komunitas Indonesia saja. Keterkaitan antara seksualitas dan persoalan kebangsaan sebetulnya menarik tetapi tidak mengejutkan karena gagasan heteroseksualitas begitu dominan dan menjadi acuan warganegara yang sesuai. Penggunaan elemen negara-bangsa sebagai acuan untuk memahami seksualitas tidak pernah digunakan oleh kaum gay dan lesbi Indonesia, tetapi justru dibangun kembali oleh mereka dengan cara yang tidak pernah diantisipasi oleh negara-bangsa. Jadi menurut saya, pelaku dari GWL itu sendiri tidak memandang dari suku, bangsa, etnis, dll. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan gay dan lesbian Indonesia berhasrat untuk menikah dan tentunya mereka merasa ditolak oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Karena di Indonesia sendiri masih melarang hal-hal yang melanggar oleh norma. Tidak hanya di Indonesia, ada beberapa Negara di dunia yang melarang pernikahan sesame jenis di lakukan. Dan menurut lintas budaya sendiri, GWL harus memahami dan di lihat dari sudut pandang tertentu, tidak dapat di lihat dari satu sisi saja.

 Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *